Berkelana di Tanah Madura



Lembayung pagi mengawali perjalanan ini, bersamaan dengan kereta Sancaka yang melaju perlahan membawa saya dari Yogyakarta menuju Surabaya. Arah langkah dari perjalanan ini adalah pulau Madura, pulau yang terkenal akan Karapan Sapinya. Jembatan Suramadu menjadi gerbang selamat datang,  menjadi langkah awal saya bertualang.
Setelah menempuh 5 jam perjalanan, akhirnya kereta tiba di stasiun Gubeng Surabaya. Teriknya siang dan suhu panas menyambut kedatangan kami di kota pahlawan ini. Selepas membeli cemilan pengisi perut, kami melanjutkan perjalanan dengan menggunakan bus yang telah kami sewa. Bus mulai melaju mengarah ke jembatan Suramadu, jembatan yang ikonik karena menjadi penghubung pulau Jawa dan Madura. Jalanan Surabaya yang padat menjadi pemandangan dari balik kaca bus. 15 menit melaju, bus tiba di pintu gerbang jembatan. Hamparan selat Madura mulai terlihat bersamaan dengan jalan yang sedikit menanjak. Tak perlu waktu lama melewati jembatan ini, 15-30 menit adalah waktu normal melewati jembatan sepanjang  5,348 km ini.
Setiba diujung Suramadu bagian Madura, suasana sangat berbeda dengan Surabaya. Hanya ada warung-warung kecil dan pepohonan yang mengering disisi jalan. Kontras dengan sisi pulau Jawa dengan gedung-gedungnya.
Tanah lapang luas mulai berganti menjadi deretan toko dan rumah penduduk, menandakan kami telah memasuki pusat dari kabupaten Bangkalan. Selepas beristirahat sejenak, sore hari kami menuju pelabuhan Kamal. Pelabuhan yang kini tak lagi ramai semenjak jembatan Suramadu diresmikan. Jalanan cukup lengang, setelah 30 menit perjalanan kami tiba. Tak seperti pelabuhan-pelabuhan yang pernah saya kunjungi, Kamal memang terlihat sepi. Terlihat hanya sedikit aktifitas, bahkan beberapa dermaga tak lagi digunakan. Namun, kapal penyebrangan masih silih berganti bersandar di dermaga mengangkut penumpang dan juga kendaraan. Penasaran, saya bertanya harga tiket kepada salah satu penjaga dermaga kamal. Ternyata cukup murah, hanya Rp.5.000,- saja. Saya pun bergegas menuju loket tiket yang berdekatan dengan patung karapan sapi, patung yang menjadi saksi bisu kejayaan pelabuhan Kamal.
Kapal perlahan menjauhi dermaga, berlabuh menuju Surabaya. Sore itu suasana kapal cukup ramai. Suara pedagang dan obrolan penumpang menyamarkan suara mesin kapal. Dari kejauhan jembatan Suramadu tampak kokoh menjadi penyambung kedua pulau. Selain itu, kapal-kapal lain yang berlalu-lalang dan mentari di ufuk barat menjadi teman perjalanan sore itu. Tak terasa 30 menit berlalu, kapal telah sandar di dermaga pelabuhan Surabaya. Para penumpang dan kendaraan pun mulai meninggalkan kapal. Saat itu saya memilih untuk tetap berada diatas kapal. Tak butuh waktu lama, kapal kembali terisi oleh para penumpang. Kapal pun kembali menuju pelabuhan Kamal, Madura.
Setibanya di pelabuhan Kamal, mentari telah sepenuhnya kembali ke kiblatnya. Saya dan rombongan pun bersiap melanjutkan perjalanan. Malam ini kami akan menuju kabupaten Sumenep, kabupaten yang letaknya di ujung timur pulau Madura. Menurut sang supir bus, waktu tempuh dari Bangkalan menuju Sumenep adalah 5 jam. Bus mulai melaju menjauh dari pelabuhan Kamal. Melewati jalan yang tak terlalu besar dan juga berkelok di pesisir selatan Madura, kami akhirnya tiba di penginapan pada tengah malam. Esok hari kami akan mengunjungi berbagai tempat di Sumenep.

            Setelah bersiap, pada pukul 07.00 WIB kami menuju keraton Sumenep. Dibangun sejak 1962, hingga saat ini keraton Sumenep masih berdiri megah. Banyak peninggalan yang akan kita temui di keraton ini. Mulai dari kereta kuda yang telah berumur ratusan tahun hingga barang-barang lainnya yang digunakan oleh raja-raja Sumenep.
            Di keraton ini saya berjumpa dengan seseorang bernama empu Sanamo, beliau adalah seorang pembuat keris yang berasal dari desa Aeng Tong Tong. Beliau bercerita banyak mengenai desa tempat tinggalnya, dimana setelah itu saya mengetahui bahwa Aeng Tong Tong adalah desa dimana hampir seluruh warganya pembuat keris. Beliau pun mengajak saya berkunjung ke desanya untuk melihat proses pembuatan keris.
            Setelah berkeliling keraton, kami kembali bersiap untuk menuju tujuan selanjutnya yaitu Asta Tinggi. Tujuan kali ini masih berkaitan dengan keraton Sumenep, karena Asta Tinggi adalah tempat dimana raja-raja Sumenep dimakamkan. Letaknya tak terlalu jauh dari keraton, hanya butuh 15 menit dengan kendaraan kami tiba di Asta Tinggi. “Asta” berarti makam sedangkan Tinggi disini dimaksudkan karena letaknya yang memang berada di bukit. Komplek makam ini begitu luas, terbagi beberapa bagian makam sesuai dengan struktur kekerabatan dengan gerbang utama yang besar berwarna putih.
            Selepas berkeliling komplek makam, tak terasa hari menjelang sore. Kami pun melanjutkan perjalanan menuju desa yang terbilang unik, desa Legung namanya. Di desa ini alas tidur yang digunakan warganya adalah pasir. Dari Asta Tinggi kami menuju ke arah utara, dengan menempuh waktu 1 jam kami tiba di desa Legung pada sore hari. Seperti desa pesisir pada umumnya, warga disini sebagian besar berprofesi sebagai nelayan. Namun hal yang unik di desa ini adalah setiap rumah memiliki kolam pasir di dalam rumah maupun di luar rumah. Warga disini mengaku lebih memilih tidur di pasir daripada harus tidur di kasur.
            Dipinggir pantai saya bercengkrama dengan pemuda Legung, namanya Badri. Ia berkata merasa nyaman tidur di pasir karena merasa dingin dan nyaman, sedangkan tidur di kasur terasa panas. Warga disini seakan sangat “akrab” dengan pasir, beberapa Ibu-Ibu melakukan berbagai aktifitasnya di dalam kolam pasir yang terdapat di bagian depan rumah. Bahkan, anak-anak Legung tak ragu untuk bermain dan berguling diatas pasir. Pasir desa Legung memang berbeda, terasa lebih halus juga bersih. Pasir berasal dari tempat khusus di sekitar pantai Legung yang jarang digunakan untuk beraktifitas. Sehingga kebersihan pasir tetap terjaga. Selain itu, setiap harinya warga juga selalu membersihkan pasir yang berada di halaman maupun di dalam rumah. Tak terasa petang menjelang. Perjalanan hari ini usai, kami kembali pulang.

Hari ini adalah hari terakhir saya berada di Sumenep. Tak mau menyia-nyiakan ajakan empu Sanamo yang saya temui di keraton Sumenep sehari sebelumnya, saya berkunjung ke desa Aeng Tong Tong. Setelah berkemas, saya memulai perjalanan menuju ke desa para empu. Perjalanan memakan waktu 30 menit hingga kami tiba di jalanan yang sedikit menanjak dan mulai mengecil. Pertanda kami telah memasuki wilayah desa Aeng Tong Tong.
Di desa ini kami disambut oleh seorang wanita bernama Ika, yang setelahnya saya ketahui bahwa ia adalah satu-satunya empu wanita. Sesaat kemudian, empu Sanamo juga datang untuk menyambut kedatangan saya beserta rombongan. Setelah bercerita mengenai sejarah desa ini dan sejenak bercengkerama. Saya diajak oleh empu Sanamo untuk berkeliling Aeng Tong Tong.
Menggunakan sepeda motor, kami mulai mengunjungi satu persatu rumah para empu disini. Ternyata hampir seluruh warga desa Aeng Tong Tong adalah pembuat keris. Tak hanya orang dewasa, anak- anak disini pun sudah memulai untuk belajar menjadi seorang pembuat keris. Keris-keris disini juga membuat saya takjub, betapa rumitnya ukiran-ukiran dan berbagai bentuk keris yang unik. Tak terasa satu jam kami berkeliling, kami kembali menuju balai desa Aeng Tong Tong. Beristirahat sejenak, saya kemudian pamit untuk melanjutkan perjalanan saya menuju Pamekasan. Jika ditanya tempat apa yang meninggalkan kesan mendalam, saya akan menyebutkan desa Aeng Tong Tong. Warga disini sangat ramah dan dengan senang hati mengantarkan siapapun yang ingin mengenal lebih desanya para empu ini.
Bus mulai melaju menuju Pamekasan, meninggalkan Sumenep yang penuh kenangan. Senja menjadi penghantar perjalanan hingga kami tiba di penginapan. Melepas lelah saya memilih untuk beristirahat, mempersiapkan diri melihat festival sapi esok hari.

Suara musik khas Madura bersahut-sahutan ketika saya memasuki stadion R. Sunaryo Pamekasan. Tempat digelarnya festival Sapi Sonok, yaitu kontes “kecantikan” bagi sapi betina Madura. Esok hari, di tempat ini juga akan digelar ajang paling bergengsi se-Madura yaitu Karapan Sapi yang memperebutkan piala Presiden.
Sapi-sapi yang hadir nampaknya memang sapi pilihan, terlihat dari betapa indahnya bentuk dan bulu sapi. Sepertinya biaya yang dikeluarkan untuk merawat sapi ini tak murah. Dalam kontes ini tak hanya fisik sapi yang mempengaruhi penilaian, namun cara berjalan dan ketepatan sapi memasuki gapura yang berada di ujung lintasan.

Mungkin ini adalah hari yang ditunggu-tunggu bukan hanya bagi para pemilik sapi karapan, namun juga sebagian besar masyarakat Madura. Ajang bergengsi di gelar hari ini, karapan Sapi memperebutkan piala Presiden.
Cuaca Pamekasan cukup cerah pagi ini, orang-orang berbondong-bondong menuju stadion R. Sunaryo untuk melihat karapan sapi. Stadion mulai terpenuhi oleh masyarakat lokal maupun para turis ketika saya tiba pada pukul 8 pagi, meskipun lomba akan dimulai pukul 10.00 WIB. Saya berkeliling mencari “spot” terbaik untuk melihat kecepatan sapi-sapi karapan saat bertanding. Cukup sulit memang, karena tempat-tempat terbaik telah terisi. Sepertinya lain kali saya harus tiba lebih awal.
Terik sang surya tak menyurutkan semangat para penonton menunggu pertandingan dimulai. Meskipun sedikit terlewat dari jadwal, pertandingan pertama dimulai dan disambut dengan sorak-sorai penonton. Pertandingan pun terus berlangsung hingga sore hari, hingga sapi milik H. Samsuddin yaitu Sonar Muda menjadi juara. Lembayung sore menjadi penutup hari ini.

Tak terasa berhari-hari saya bertualang di pulau Madura. Beragam hal dan teman-teman baru saya temui di pulau garam ini. Perjalanan yang mengesankan, itulah yang saya rasakan. Sampai jumpa, Madura. 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Estimasi Biaya ke Semeru dari Yogyakarta

Pendakian Gunung Lawu via Candi Cetho